Sabtu, 27 October 2018 grup menulis NAC mengundang penulis muda berbakat Daruz Armedian. Sosok penulis muda ini tulisannya sudah di muat berbagai media, juga karya novelnya, dan saat ini juga sedang menggarap dua buah novel berjudul Perempuan Tak Pernah Patah Hati dan Bagaimana Kesepian Membuatmu Mati perlahan. Daruz juga seorang editor, proof reader di sebuah penerbit besar di Yogyakarta dan juga kontributor di sebuah web.
Daruz bercerita tentang aktivitas dan awal mula kepenulisannya hingga sekarang ini. Penulis muda yang memutuskan untuk merahasiakan usianya ini nyatanya masih berstatus mahasiswa di salah satu PTN di Jogja. Daruz mengaku suka membaca sejak SMP, saat itu kakaknya yang seorang penikmat buku dan tinggal di luar Tuban mengiriminya dua kardus buku. Bahkan jika ibunya belanja dan kebetulan bungkusanya adalah Koran, Daruz akan membacanya berulang-ulang.
Membaca sepenggal ungkapan seorang Daruz Armedian di atas, tidak di ragukan jika kualitas tulisannya sangat bagus dan tidak di ragukan lagi karena beliau sangat gemar membaca bahkan jika itu hanya iklan-iklan yang kata-katanya biasanya hanya terbatas tetapi memapu melenakan pembacanya.
Daruz juga belajar menulis secara daring dan luring. Untuk daring, Daruz belajar di KOmunitas Pedas (Penulis dan Sastra) yang untuk pelajaran dasarnya diajari soal ejaan, dan PUEBI. Untuk luring, Daruz bergabung dengan komunitas kutub yang berada di Jogjakarta.
Kisah Daruz Armedian
Baca Juga :
- Q&A bersama Daruz Armedian – Tamat
- Trik Menulis ala Daruz Armedian
- Review Novel 17 Tahun itu Bikin Pusing
Daruz mulai ingin menulis justru di saat dia merasa kehilangan orang-orang yang di cintainya. Saat SMA, adik dan neneknya meninggal dunia. Saat itulah beliau muali banget pengin menulis. Mungkin itulah titik balik kehidupannya di dunia kepenulisan. Waktu itu keinginan menulisnya didasari keinginan melampiaskan apa yang bergejolak di dalam hatinya. Awal mula kepenulisannya diawali dengan menulis diary lalu menulis cerpen, puisi dan jenis tulisan lainnya dalam bentuk curhat.
Semua itu bermula ketika kiriman buku dua kardus datang dari kakakku. Ketika itu aku kelas 3 SMP. Sebenarnya ini tidak menjadi perubahan yang drastic bagiku jika seandainya sejak dahulu desaku, atau kecamatanku, atau sekolahanku, menyediakan perpustakaan. Tempat-tempat yang aku sebutkan tadi tidak punya perpustakaan. Sehingg, ketika buku-buku dari kakakku datang aku menyambutnya secara meriah dan riang kepalang.
Aku menyukai bacaan, setidaknya bagiku sendiri. Dalam hal itu bisa aku buktikan dengan Lembar kerja Siswa yang tidak pernah kosong, penuh coretan, dan soal-soal baik dalm bentuk pilihan ganda maupun esai di dalamnya sudah banyak aku isi. Atau, bangganya aku ketika ibu berbelanjadan barang belanjaan dibungkus dengan korandan aku membacanya secara berulang-ulang. Atau, ketika perjalanan jauh menaiki mobil atau bus, aku sering sekali membaca iklan di pinggir-pinggir jalan
Ketika kakak mengirimiku buku sejumlah dua kardus dan ketika terus menerus membacanya, aku langsung memutuskan untuk belajar menulis. Yang paling aku ingat adalah, aku ingin menulis seperti Andrea Hirata. Aku terinspirasi dari novel Laskar Pelangi. Setelah itu aku membaca buku karangan Dee Lestari, Ahmad Fuadi, Habiburrahman Elsyirazi, Tere Liye Agnes Danovar, Raditya Dika, dan penulis-penulis popular lainnya.
Beranjak ke SMA, aku benar-benar belajar menulis dan yang aku tulis pertama kali adalahcerpen dan novel. Itu masa-masa sulit dalam perjalanan menulisku. Aku menulis sendirian dna tentu sajatidak ada yang mengajariku. Aku buta terhadap apapun yang berkenaan dengan kepenulisan
Ketika salah seorang peserta menanyakan apa apa yang di lakukannya sebagai penulis pemula saat itu, Daruz menjawab bahwa yang di lakukannya adalah membaca buku apa saja. Sebab, untuk menulis, tidak bisa tidak memang harus di mulai dengan membaca. Setidaknya kita tahu bagaimana orang lain menyampaikan pendapat lewat tulisan.
(bersambung)
“Postingan ini di ikutsertakan dalam program One Day One Post bersama Estrilook Community”
“Day16
Tinggalkan Balasan