Mengapa Ibu Membunuh Anaknya – Apakah teman- teman suka mengikuti berita tentang seorang ibu yang tega membunuh anaknya? Bahkan kebanyakan yang dibunuh itu masih balita atau mereka yang usianya memang masih membutuhkan bimbingan. Apakah yang terbesit di benak teman-teman ketika mendengar berita tersebut?
Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di Ende, seorang ibu yang diberitakan stress membunuh bayinya yang baru berusia 3 bulan. Salah satu alasan mengapa ibu itu stress karena himpitan ekonomi, sedang suaminya hanya asyik main game dan kartu. Bayi malang itu terbunuh setelah pisau ditusukkan ke tubuhnya, dan meninggal dalam perjalanan ke Rumah Sakit.
Ini hanya salah satu contoh seorang ibu yang membunuh anaknya. Belum lagi kisah kisah lainnya baik yang terekspos media maupun yang tidak.
Menurut teman-teman pembaca, apakah sepenuhnya salah ibu tersebut yang terlihat seperti tidak memiliki hati nurani?
Saya pribadi berpendapat,banyak faktor yang mempengaruhi mengapa ibu membunuh anaknya. Salah satu faktor penting tersebut adalah peranan orang terdekat yang turut mendampingi ibu di masa transisinya.
Daftar Isi
Saya Pernah (Hampir) Jadi Pembunuh
Kalau boleh jujur, saya pernah mengalami ini yaitu hampir membunuh anak saya yang pertama. Seiring teknologi yang semakin berkembang pesat, saya baru menyadari jika saat itu saya mengidap Baby Blues Syndrome. Saya memerlukan waktu yang cukup lama, sekitar 2 tahun, hingga saya merasakan cinta untuk si sulung tersebut.
Saya Hampir Menjadi Bagian Ibu yang Membunuh Anaknya
Mengurus bayi atau anak pertama adalah sesuatu hal baru dalam hidup saya. Tak pernah terbayangkan jika kehadirannya akan mengubah hidup saya. Mengubah pola tidur, mengubah jadwal keseharian, bahkan rasanya bayi itu benar-benar merampas hidup saya.
Untuk sekedar ke kamar mandi saja tidak bisa. Ditinggal shalat, dia nangis. Apalagi memasak, mencuci, menyetrika. Benar-benar tidak bisa. Hingga pada suatu pagi, ketika saya benar-benar ingin memasak, dia menangis terus. Saya mendatanginya, mengambil bantal dan membekapnya. Dalam pikiran saya waktu itu, saya ingin dia lenyap, tidak ada. Tetapi kesadaran itu kemudian datang, dia masih menangis, lalu saya peluk erat-erat tubuhnya dan saya menangis.
Ada alasan lain mungkin yang menetap di kepala saya. Campur tangan tetangga yang merasa terganggu dengan tangisan anak saya, terutama di waktu magrib maupun malam hari. Lalu, anak-anak tetangga yang waktu itu kebetulan seusia dengan bayi sulungku, tidak serewel dirinya. Kata-kata mereka justru terasa semakin menjatuhkanku, dan merasa jika saya bukan ibu yang baik untuknya.
Kondisi saya yang juga seorang perantauan, tidak ada sanak saudarapun yang bisa diajak untuk mengobrol. Ditambah suami yang sibuk karena waktu itu beliau kuliah sambil kerja dan pulang hampir jam 11 malam. Hal itu membuat beliau tidak memiliki banyak waktu untuk saya.
Apalagi melihat tetangga yang saling bersaing dalam kemewahan, dibandingkan saya seseorang yang baru merintis pernikahan. Waktu itu saya ingin sekali memiliki mesin cuci, karena bayi sulung yang susah ditinggal maka saya harus mencuci di atas jam 10 malam. Tetapi belum kesampaian bahkan hingga sulung usia 5 tahun.
Semua yang saya alami sering membuat saya merasa menjadi wanita yang paling menderita. Saya juga membenci pernikahan bahkan sempat membenci Allah. Saya sering mengatakan pada diri sendiri bahwa bullshit jika menikah itu indah. Perasaan saya pasang surut, kadang bahagia, kadang benci sekali pada diri sendiri. Hal itu yang saya yakini membuat saya stress tetapi tidak menyadarinya. Dan mungkin juga hal yang terlihat sepele ini menjadi salah satu penyebab mengapa seorang ibu membunuh anaknya.
5 Faktor yang Mungkin Menjadi Pemicu Mengapa Ibu Membunuh Anaknya
Jika mengingat rentang waktu tersebut, saya ingin menangis. Rasanya ingin mengulang kembali, mendidik anak saya yang pertama dengan penuh kesabaran. Kembali mengingat saat itu, saya seperti seorang psikopat yang sangat bahagia melihat anak saya menderita.
Maka kutuliskan kisah ini di sini. Mungkin ibu yang stress tidak sempat membaca tulisan ini. Tetapi mungkin tetangga atau teman yang paham akan adanya syndrome ini, bisa sedikit paham kondisi seorang wanita yang stress atau mengalami syndrome baby blues dan bisa membantunya lepas dari syndrome tersebut. Perhatikan 5 faktor ini:
#1. Ibu Membunuh Anaknya Karena Pola Hidupnya Berubah
Jika sebelumnya saat masih berdua saja dengan suami, apapun bisa dilakukan. Tetapi setelah si bayi lahir semua itu akan berubah. Pola makan, pola makan bagi ibu baru akan berubah menunggu bayi tidur nyenyak. Pola tidur, jika biasanya sepanjang malam bisa tidur nyenyak, atau tidur siangnya tidak ada yang menganggu, tetapi kali ini semuanya berbeda. Kadang ditengah malam bayi ngajak main, atau juga di siang harinya. Pola rutinitas sehari-hari, jika mungkin sebelumnya jam 10 rumah sudah bersih dan rapi, tetapi kini semenjak ada bayi, semua kondisi itu berubah.
#2 Tidak Memiliki Teman untuk Diajak Bicara
Menjadi ibu baru berarti belajar sesuatu hal yang baru. Maka terkadang hal-hal yang dilakukan bayi tidak dipahami oleh ibu baru.. Apalagi kalau bayi rewel atau sakit, sudahlah cemas, tidak ada yang diajak bicara lagi. Seharusnya ada orang yang bisa dipercaya atau keluarga dekat yang bisa menemani saat kondisi seperti ini. Dengan catatan tidak memperburuk suasana seperti menyalahkan atau membandingkan kondisi ibu baru dengan kondisi orang lain.
#3 Perhatian Suami
Masa nifas dan suami tidak mendekat, seorang istri mungkin terasa diabaikan. Maka, perlakuan suami dengan perhatian-perhatian kecilnya seperti membantu menjaga sikecil ketika ibu melakukan hal lain. Atau menajdi pendengar keluh-kesah istri atau menggantikan istri melakukan pekerjaan rumah. Perlakuan suami seperti itu bisa membuat istrinya akan merasa dihargai. Terlebih jika suami tidak mampu membayar pembantu untuk meringankan tugas istri.
#4 Ekonomi yang Cukup
Terkadang lingkungan sosial yang tidak baik membuat beban pikiran ibu semakin tambah berat. Bayangkan saja, jika seorang ibu muda sudah direpotkan dengan mengurus bayinya ditambah harus memikirkan hari ini makan apa, dapat uangnya dari mana belum lagi kebutuhan tersier lainnya. Akan menjadi bom waktu jika istri melihat suaminya kurang usaha, bermalas-malasan. Maka tak ayal jika beban berat dalam pikiran ibu semakin bertambah dan membuatnya semakin meledak-ledak hingga terkadang melampiaskan pada anak-anaknya.
#5 Kurangnya Pengetahuan & Tangguhnya Iman
Tidak ada sekolah khusus untuk menjadi orangtua. Semuanya belajar secara otodidak, seperti memahami karakter anak masing masing. Tetapi kita sebagai orangtua bisa mendapatkan banyak informasi darimanapun, dari buku atau internet. Dengan ilmu pengetahuan tentang parenting atau rumah tangga, membuat orangtua tahu apa yang harus dilakukan jika ada masalah, meskipun pada kenyataanya teori tidak semudah prakteknya.
Iman juga bisa terkikis jika orang yang selama ini dianggap sebagai sandaran tidak memberikan perhatian bahkan terkesan acuh. Bahkan terkadang mendatangi atau mengaja ngobrol istri jika ada keperluan saja. Hal ini menjadikan rentan terjadinya stress atau kekacauan dalam rumah tangga, terlebih ada campur tangan setan yang sangat ingin pasangan halal ini cerai.
Nah, ibu-ibu jangan kucilkan ataupun salahkan ibu-ibu yang mungkin “terlihat” jahat kepada buah hatinya! Mungkin ibu tersebut butuh bantuan baik berupa materil maupun spirituil. Kita bisa mulai mengajaknya bicara, jika mungkin.
Yuk, selamatkan anak-anak dari “kekhilafan” ibu-ibu yang stress atau mengalami Baby Blues Syndrome
Belum menikah, semoga ini jadi pembelajaran buat saya ketika menjadi seorang ibu di suatu hari. Thank chuu mbak~
Iya, mbak. Sebenarnya ibu-ibu yang mengalami hal tersebut, karena kurangnya support dari orang-orang terdekat, terlebih yang memiliki andil besar adalah suaminya. Semuanya dia pendam sendiri. karena kalau mau jujur, terkadang istri hampir memikirkan 90% masalah keluarga. Jadi, dalam kondisi ini suaminya harus full support, tanpa alasan apapun.
Aku pun dulu saat anak pertama juga sempat mengalami baby blues mbak, dikepala suara tangis bayi aja, pusing banget. Memang poibt-point yang disebutkan diatas sangat berpengaruh banget ditambah lagi Aku minim ilmu parenting waktu itu, nah yang paling menyelamatkan adalah iman kita, subhanallah itu memang benar-benar menyelamatkan. Pas anak kedua baru belajar lagi dan lebih siap.
Banyak ya ternyata yang mengalami hal ini. Harus banyak yang paham ketika wanita mengalami syndrome baby blues. Agar tidak membahayakan anak. Terutama orang-orang terdekat.
Ya Allah kudu nangis baca kisah masa silam mbak wiwid, bener banget jangankan yang tanpa asisten yang sudah punya asisten aja kadang masih suka khilaf. save anak-anak ya. semangat juga buat para ibu baru maupun lama, semoga selalu diberikan kemudahan dalam menjaga amanahNya.
iya betul banget mbak. Aamiin, semoga ibu ibu diberi kekuatan untuk selalu mendidik putra putrinya dan mendampinginya dengan penuh kesabaran.
Ya Allah, miris ya mbak kalo denger ibu tega bunuh anak sendiri. Memang kedekatan dan ikatan batin keluarga harus tetep terjaga, dan saling mengerti satu sama lain.
Iya mbak. Tapi masih banyak yang kurang paham dengan masalah baby blues ini.
Kondisi ini emang banyak terjadi mbak. Dukungan lingkungan pun sangat berpengaruh ya mbak, apalagi suami, sekadar mau menemani begadang bisa bikin bahagia
iya mbak. Bener banget.
saya paham baby blues itu justeru setelah anak berumur setahun. Memang tidak dipungkiri setiap perjalanan pengasuhan pasti berbeda-beda ya mbak. yang perlu banget ditekankan dan diubah pola pikirnya kalo anak rewel suka nangis itu tidak baik dan cengeng, itu bener2 nyebelin banget kalo dibanding-bandingkan. Karena kan sejatinya bayi itu sedang bertumbuh dan memahmi lingkungannya.
Tulisan ini mejadi pelajaran buat saya, nggak dipungkiri kalau lagi kesal kadang sikap kita memang di luar kendali. semoga selalu waras dan bahagia ya mbak wid..
saya paham malah anak sudah besar. Ketika internet sudah begitu mudah diakses, mbak. betapa ketinggalannya ilmu parenting saya.
Stigma seorang Ibu harus kuat lahir dan batin seringkali membuatnya tidak bisa mengungkapkan kegundahannya. Padahal mungkin psikolog. Miris memang melihat hal ini.
bener banget mbak. Banyak yang nggak paham masalah ini.
Ya Allah mba sedih banget aku bacanya ???
Pernikahan itu memang butuh kesiapan mental dan fisik ya. Akupun sama kom waktu awal Pernikahan dan punya anak berat banget rasanya. Alhamdulillah sekarang semua sudah terlewati. Yang sabar daj semangat mba. Kita semua pasti bisa jadi ibu yang tangguh.
Iya, mbak. Sabar melesati, insyaAllah indah pada saatnya. Melihat anak-anak tumbh sehat, lincah, pintar. obat tersendiri bagi kita.
Ya Allaah pengen pelukin satu satu ibu ibu di sini.
MasyaAllah perjuangannya. Saya pun pernah merasakan ini. Hidup yang berubah dan belum siap mentalnya.. Terimakasih sudah berbagi
Iya, mbak jihan. Ibu baru butuh banyak dukungan dan pelukan.
so sad baca artikel kakak, karena saya juga mengalaminya waktu punya keenan dulu ( anak pertama saya ). saya hampir mau lempar karena depresi di baby blues ditambah inner child saya masih bermasalah. setiap ibu pasti kaget pertama kali punya anak, gak seindah yang ditawarkan film howllywood apalagi drakor.
dukungan orang terdekat emang penting, apalagi suami. tapi yess betul kata kakak, pernikahan gak seindah itu. jadi, mau gak mau kita struggle sendirian dan sebisa mungkin back on track.
tetap semangat ya kak, you are not alone. lama – lama di depresi dan trauma akan berangsur hilang seiring perkembangan anak, perbanyak bersyukur dan makin deket sama Allah, insya allah di kasih jalanNya
iya, banyak yang mengalami seperti kita. Tapi banyak yang nggak paham klo itu sebuah syndrom. Dan justru semakin menyalahkan ibuu baru. Hal itu justru semakin membuat stress ibu baru tersebut.
Semoga kelak aku bisa bertahan juga dengan fase yang pernah kamu alami mbak. Mbak kamu suka nonton drakor gak, ada yang kisahnya itu gini lhoo judulnya birthcare center. Aku belajar dari situ bagaimana pasca melahirkan dan kehamilan. Perjuangan ibuk luar biasa
suka drakor, tapi belum nonton mbak. siap.
Ya Alloh tulisan yang menohok
Aku baca berita ibu bunuh anaknya juga mbak.
Tadinya aku pikir hanya faktor ekonomi yg bisa sebbabin ibu kehilangan akal dan hati nuraninya.
Ternyata ga semata2 kena ekonomi aja ya mbak.
.naudzubillah semoga akal kita terus disehatkan. Thx sharingnya mbak
Iya Mbak, miris sebenarnya. Tetapi faktor penentu menurut saya adalah pendamopingan orang terdekat dan juga komunikasi yang baik dengan pasangan, mbak.
Ini yang mungkin ada di pikiran saya ketika semisal saya hamil. Sementara saya sudah terbiasa dengan situasi yang hening, dan mengetahui kondisi kalau saya seorang diri di negeri orang juga sudah cukup membebani (tanpa keluarga besar).
Namun tampaknya ini tahapan yang harus dilalui oleh seorang Ibu dan karena sekarang saya mengerti mengenai hal ini, saya akan memberikan support yang lebih lagi baik teman di sini yang melahirkan.
iya, mbak. Mungkin setiap ibu harus mengalami tahapan ini.
MasyaAllah, untung masa masa itu sudah terlalui ya Mba Wid, sekarang jadi makin banyak belajar. Aku juga masih bergelut dengan perbedaan perbedaan yang ada karena nikah baru 3 tahun dan anak baru 2 tahun ini. Banyak yang harus disabar sabarin dan dipelajari.
Alhamdulillah anak ke 2 dan ke 3, saya nggak mengalami mbak. Meski ada sedikit trauma, tapi pembawaann bayi no 2 dan 3 juga cukup membantu saya dalam beraktivitas.
Mbak wid, pas sanak pertama, aku ngalamin trauma nggak mau punya anak lagi, karena ngajakin melekan sampek pagi dan aku sendirian nggak pernah gantian. Kalau aku stres, aku ke kamar mandi dan guyur badan dari kepala pake air dingin biar adem kepalaku, biar nggak ngomel-ngomel atau emosi sama anak. Jujur, belajar saat aku ikut tinggal sama mbakku yang suka ngomel saat anaknya rewel tapi suaminya selalu ikut bangun gantian jagain. Sejak itu aku berjanji dalam hati, nanti kalau jadi ibu aku harus bisa meredam emosi pas bayi rewel. MEntoknya akku ikutan nangis sama bayiku. Hahaha … cemen banget rasanya. Dukungan orang sekitar emang penting banget. Makanya setiap tetangga ada bayi, sebisa mungkin aku hibur kalau pas anaknya terdengar rewel malam harinya.