Tragedi Berdarah Dua Anakku Sore Ini. Sore ini, 23 Desember 2019, saya berpesan kepada Si Sulung untuk membeli goreng-goreng di Perumahan Puri Agung. Perumahan yang memang bisa dibilang tidak dekat, perlu berkendara motor kurang lebih 10 menit ke sana. Biasanya saya yang membeli goreng-goreng tersebut, mengingat lalulintas di sana memang bisa dibilang tidak sepi. Namun, sore ini saya malas sekali untuk pergi keluar. Walhasil saya suruh Si Sulung untuk pergi ke sana.

Mungkin teman-teman bertanya, kenapa harus beli gorengan yang jauh dari rumah? Gorengan di perumahan tersebut harganya sama tetapi saya akan mendapatkan rasa yang enak, teksturnya lembut, rasanya pas. Jadinya puas setelah menyantapnya.

Akhirnya si sulung ijin setelah shalat ashar langsung pergi membeli goreng-gorng. Namun, sholat ashar di Masjid dekat rumah sudah agak lama berlalu, seharusnya jika dikira-kira si Sulung yang sore itu mengajak si bungsu dengan mendendarai motor bututnya sudah kembali. Anak gadis saya pun berulang kali berucap,”kok lama sih Mi beli goreng-gorengnya.” Dalam hati sayapun mulai khawatir. Kemudian teringat pesan paksu untuk tidak mengijinkan Si Sulung membawa motor keluar dari komplek perumahan tempat saya tinggal.

Mulai bergetar dan khawatirlah saya. Bibir merapal semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Saya sungguh takut, si Sulung yang saat ini sedang duduk di bangku kelas IX. Dia seharusnya dijaga keselamatan dan kesehatannya untuk menyongsong ujian akhir sekolah. Hati saya mulai bergidik, waktu telah berlalu dari perkiraan kepulangan mereka berdua seharusnya.

Baca Juga :

Tak lama suara motor yang khas memasuki halaman rumah. Namun dua anak saya masuk dengan wajah pias. Si bungsu yang selalu ekspresif, beranjak mendekati saya.

“Ummi, ummi jangan marah ya!”

“Kenapa?” tanya saya mulai khawatir

“Tadi Mas Ammar nabrak motor orang dan jatuh. Kaca (spion) motornya pecah.”

Saya hanya terdiam, antara rasa terkejut dan khawatir yang menerpa hati saya secara bersamaan.

“Lalu bagaimana?”

“Oom yang ditabrak cuma menasehati. Nggak minta ganti rugi.”

Saya menghela nafas, antara rasa penyesalan dan entah rasa apa yang menyelimuti saya sehingga membentuk rasa bersalah yang sangat akut. Alhamdulillah, kedua anak saya masih selamat meski kedua kakinya sedikit lecet.

Tragedi Berdarah
unsplash.com

Lalu berputarlah adegan-adegan rekaan saya sendiri di kepala. Ya Alloh, apa jadinya jika anak saya lukanya parah? Apa jadinya jika ada mobil atau motor dibelakangnya? Karena kebetulan motornya jatuh ke sebelah kanan, dan jalan yang dilalui anak saya adalah jalan yang lalulintasnya sangat padat. Rekaan kejadian hasil karya saya sendiri  itu terus mengahantui saya. Namun secepatnya saya mengucap istigfar dan hamdalah bahwasannya Alloh masih menolong dan menjaga kedua anak saya.

Dua hal yang saya lakukan, dan ternyata berakibat fatal. Saya tahu ini teguran keras, terlebih pak suami memang sudah mewanti-wanti saya untuk tidak mengijinkan Si sulung keluar jauh mengendarai motor. Selama ini memang dia hanya diijinkan untuk membawa motor saat ke Masjid atau warung yang letaknya masih di dalam komplek dan jaranknya tidak jauh dari rumah.

Kesalahan Saya Atas Tragedi Berdarah

Kesalahan-kesalahan saya yang harus dicatat adalah

#1 Mengijinkannya Mengendarai Motor

#2 Mengingatkannya untuk berdoa sebelum berpergian, memohon pertolongan hanya kepada-Nya

#3 Melanggar pesan Suami untuk hanya mengijinkannya mengendarai motor dalam jarak dekat

#4 Saya malas untuk mendapatkan apa yang saya inginkan, sehingga ke dua anak saya menjadi korban

Tragedi berdarah sore itu merupakan sebuah pelajaran penting di sore itu yang menyentak saya untuk lebih berhati-hati dan berfikir lebih panjang untung menentukan keputusan. Jangan sampai anak menjadi korban atas kebodohan saya.