Trik Menulis ala Daruz Armedian. Membaca hasil sharing dengan Daruz di grup NAC, saya spechless sekali dengan perjuangannya hingga ke titik saat ini. Tidak main-main memang, dan hasil tidak pernah mengkhianati usaha.
Alasan Daruz menulis hingga saat ini sebenarnya memiliki beberapa alasan, tetapi alasan pertamanya adalah untuk healing atau penyembuhan, karena banyak orang menulis untuk dirinya sendiri, mungkin bisa sebagai teman ketika sendirian, kesepian atau kondisi yang tidak mengenakkan. Daruz berkata juga bahwa dia setuju dengan ungkapan Zizek, bahwa “Menulis untuk menyelamatkan hidupku”.
Zizek adalah seorang filsuf psikoanalitik Slovenia, kritikus budaya, dan sarjana Marxis. Dia adalah seorang peneliti senior di Institut Sosiologi dan Filsafat di Universitas Ljubljana, Profesor Distinguished Global Jerman di Universitas New York, dan direktur internasional dari Birkbeck Institute untuk Humaniora. Karyanya terletak di persimpangan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat kontinental, teori politik, kajian budaya, psikoanalisis, kritik film, dan teologi (sumber : Wikipedia)
Baca Juga : Cara Membuat Artikel yang Menarik Untuk Pengunjung Blog
Alasan yang kedua adalah dia bisa menjadi seorang editor dan itu bisa menjadi salah satu sumber penghasilan hidupnya. Dan berikut ini beliau mempaparkan trik menulis fiksi, hingga dia sampai ke titik sekarang ini.
Bagaimana Trik Menulis Fiksi ala Daruz Armedian?
Hidup memang harus fokus pada satu tujuan jika ingin berhasil. Seperti Daruz yang fokus dengan tulisan fiksi, meski sesekali menulis genre nonfiksi jika dia sedang merasa bosan.
“Aku menulis cerpen dan novel semauku, tanpa kode etik tertentu. Ya, bisa dikatakan bukan cerpen atau novel sebenarnya. Mirip curhat. Mirip catatan harian anak-anak sekolahan sewajarnya.
“Ketika tahu aku sedang gandrung dan senang sekali dengan kegiatan menulis, kakak mengirimiku buku lagi. Satu kardus. Di situ aku menemukan buku-buku cerpen pilihan kompas, kumpulan puisi yang aku sudah lupa siapa pengarangnya. Buku-buku kiri dan buku-buku ekstrimis kanan, buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer, dan buku-buku yang bagiku waktu itu rumit memahaminya ketimbang novel-novel popular.”
Baca Juga : 5 Blogger Juara yang Sering Memenangkan Lomba Menulis
“Dari itu aku makin rajin menulis. Terutama cerpen. Mulai meniru-niru gaya-gaya bagaimana cara orang lain menulis (aku ingat nama-nama pengarang cerpen yang kuikuti gaya menulisnya: Agus Noor, Phutut EA, Eka Kurniawan, Seno Gumiro Ajidarma, Danarto). Meskipun ya begitu, buruk sekali. Baik secara teknis ( karena tidak mengerti EBI dan kalimat-kalimat yang logis) maupun isi cerpen itu sendiri.
Dipertengahan kelas dua SMA, aku berhenti menulis. Itu karena aku merasa bahwa apa yang aku tulis sebenarnya sia-sia. Malah merusak nilai akademiku. Aku, baik di SD maupun di SMP, selalu rangking di kelas. Entah rangking satu, dua atau tiga. Dan setelah SMA, semenjak aku membaca buku selain pelajaran, aku tidak pernah mengurusi rangking. Aku tertelan oleh dunia bacaanku sendiri. Rangkingku anjlok drastius. Aku kena marah orangtua. Orangtua marah karena mereka yang membiayai sekolahku. Ini tentu hal yang wajar.
Mengapa Daruz Sempat Berhenti Menulis?
Sebenarnya bukan karena itu saja aku berhenti menulis. Tetapi lebih karena aku merasa menulis itu benar-benar sulit. Aku tidak punya sandaran, tidak ada orang lain yang mendorong, atau minimal orang yang menjadi acuanku menulis.
Di akhir kelas 3 SMA, aku mulai menulis lagi. Aku merasa di sekolahan tidak punya tanggungan lagi. Tinggal menunggu kelulusa. Tinggal menunggu bagaimana aku merengkuh kebebasan.”
Baca Juga : Q&A bersama Daruz Armedian – Tamat
Lalu aku berangkat ke Gresik dan bekerja sebagai penunggu warnet. Di sana, aku latihan ngetik menggunakan komputer. Dan tentu saja juga membaca tulisan-tulisan di media daring. Pada suatu waktu ketika masih di Gresik, aku mencari tahu komunitas menulis lewat Google. Di situlah aku menemukan Komunitas Kutub. Dua bulan kemudian aku berangkat ke Jogja dan bergabung dengan Komunitas Kutub, komunitas yang didirikan oleh almarhum KH. Zainal Arifin Thoha.
Di Jogja, aku seperti menemukan surga. Bacaan sangat banyak, ruang-ruang diskusi buku juga banyak. Aku menulis, membaca, menulis, membaca, sampai akhirnya tidak begitu sadar, ternyata sudah empat tahun aku di Jogja. Mungkin trik menulis Fiksiku bisa teman-teman adaptasi. Selamat berkarya
(Bersambung)
“Postingan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post bersama Estrilook Community”
#Day18
Tinggalkan Balasan