Kenangan Ramadhan Saat Masa Kecil. Ramadhan tahun ini saya mendapat tugas untuk membagikan takjil di masjid perumahan sekali dalam seminggu. Kebetulan program masjid yang sudah berjalan selama ini adalah memberi jadwal setiap jamaah muslim per kepala keluarga untuk mengirimkan nasi dan kue sekitar 10-15 bungkus setiap hari. Petugas yang menerima takjil di masjid akan menerima dan membagikan kepada anak-anak dan orangtua yang berbuka di sana.
Sejak ba’da ashar, sebagian besar anak-anak yang sudah cukup besar melaksanakan tadarus di ruang utama masjid. Kegiatan tadarus ini akan berhenti menjelang waktu berbuka. Sedangkan anak-anak yang masih kecil +- di bawah 7 tahun, duduk rapi berjejer di serambi masjid sambil menunggu berbuka.
Menatap mereka yang akan berteriak gembira ketika mendapatkan makanan kesukaannya, mengingatkan saya akan kenangan ramadhan waktu saya masih kecil. Tidak jauh berbeda dengan anak-anak tadi, dulu jika bulan ramadhan saya dan anak-anak sebaya lainnya menghabiskan waktu ashar hingga magrib di mushala kampung. Ada kegiatan mengaji di sana, belajar menghafal bacaan salat, doa-doa harian lainnya, hingga tadarus. Semuanya dibimbing oleh tetua-tetua kampung yang memiliki banyak ilmu agama. Beberapa menit sebelum waktu berbuka, saya masuk rumah pemilik mushala yang berada persis di samping mushala untuk membuat teh hangat dengan gelas plastik berwarna-warni. Tahun 90-an belum ada zamannya minimal gelas sejenis aqua, vit dan lain sebagainya. Semuanya disajikan dalam gelas.
Ramadhan Saat Kecil
5 menit menjelang berbuka, kami semua duduk berjejer rapi di teras mushala. Saya dan teman-teman lain yang dianggap paling senior di mushala tersebut, membantu membagikan nasi bungkus, yang waktu itu dibungkus daun pisang. Sirine tanda waktu berbuka berbunyi, kami kemudian dengan sigap berbuka dan kemudian melanjutkannya dengan salat magrib.
Saat isya, kami kembali berbondong-bondong ke musala untuk menunaikan salat isya dan tarawih. Di tempat saya waktu itu, 12 kilometer dari kaki gunung merapi di Yogyakarta, melaksanakan salat tarawih 20 raka’at dan dilanjutkan 3 rakaat salat witir. Tidak ada kuliah tujuh menit di antara salat isya’ dan Tarawih. Kuliah Tujuh menit atau ceramah agama selama 7 menit biasanya justru dilaksanakan pagi ba’da subuh.
Baca Juga :
- Kematian Penuh Hikmah: Jalan Menuju Kebaikan
- Mudah Mengatasi Masalah bersama Aa’ Gym
- 5 Hal Sederhana Untuk Bahagia
Nah, waktu yang paling kami sukai adalah kegiatan yang dilakukan ba’da subuh. Biasanya kami isi dengan jalan-jalan pagi. Zaman saya waktu itu, tahun 90-an, Yogya masih dingin. Saya suka membelai embun-embun di dedaunan. Mengingat jalan-jalan pagi setelah subuh, banyak yang memakai kesempatan ini untuk menggaet cowok dari desa tetangga. (ah malu kalau mengingatnya) dan ternyata itu hanyalah cinta monyet. Atau menatap lahar panas yang mengalir di puncak gunung merapi. Saat itu belum ada ponsel pintar, bahkan tidak semua orang memiliki kamera yang saat itu masih memakai jenis roll film.
Kenangan lain saat masih kecil adalah membunyikan mercon bumbung, yaitu mercon yang terbuat dari batang bamboo. Bunyi berdebum. Biasanya kamu membunyikannya setelah berbuka dan setelah salat tarawih. Entah mengapa bunyinya membuat kami tersenyum bahagia.
Namun, membandingkan kegiatan ramadhan dengan anak-anak zaman sekarang terasa sekali perbedaanya. Memang zama sudah berubah, yang terpenting bahwa kita tetap menanamkan iman islam kepada anak-anak kita atau generasi penerus kita. Agar islam tetap jaya dan malam-malam ramadhan tetap hidup. (end)
#BLoggerPerempuan
#BPN30DayRamadhanBlogChallenge
#30HariKebaikanBPN
#Day17
Tinggalkan Balasan